PENDIDIKAN KOMANDO
Setelah diberi cuti beberapa hari di Bandung usai pendidikan terjun, mereka kembali mengikuti latihan yang membutuhkan kesiapan fisik tinggi. Introduction Latihan Komando (Inlatko) adalah pengenalan dunia komando selama 1 bulan. Tetap dilaksanakan di Bandung dengan mengambil lokasi di Margahayu, markas Komando Pasgat.
Pendidikan Inlatko dilaksanakan untuk memberikab bekal standar kepada para karbol agar memiliki kecekapan tinggi. Inlatko yang dimaksud dalam program ini merujuk kepada kemampuan yang harus dikuasai. Ketika seseorang menyebut kata komando, bisa saja ia tengah membicarakan kemampuan atau unit di kemiliteran.
Setelah diberi cuti beberapa hari di Bandung usai pendidikan terjun, mereka kembali mengikuti latihan yang membutuhkan kesiapan fisik tinggi. Introduction Latihan Komando (Inlatko) adalah pengenalan dunia komando selama 1 bulan. Tetap dilaksanakan di Bandung dengan mengambil lokasi di Margahayu, markas Komando Pasgat.
Pendidikan Inlatko dilaksanakan untuk memberikab bekal standar kepada para karbol agar memiliki kecekapan tinggi. Inlatko yang dimaksud dalam program ini merujuk kepada kemampuan yang harus dikuasai. Ketika seseorang menyebut kata komando, bisa saja ia tengah membicarakan kemampuan atau unit di kemiliteran.
Prajurit yang berkualifikasi komando sudah memiliki sejumlah keahlian seperti amphibious landing, parachuting, rappeling, raid, dan teknik lainnya yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah serangan yang efektif. Prajurit berkemampuan komando biasanya dikelompokkan kedalam unit reaksi cepat seperti light infantry dan pasukan khusus. Di lingkungan pasukan komando, keahlian ini harus mereka tebus lewat pendidikan yang sangat melelahkan dan keras selama berbulan-bulan.
Karena karbol tidak dilatih secara spesifik untuk menjadi prajurit komando, maka program yang mereka jalani pun tidak selama dan seberat pendidikan komando di satuan khusus. Pendidikan hanya sebulan, dengan materi yang dipadatkan.
Pendidikan komando biasanya dilaksanakan dalam beberapa tahap. Secara garis besar dibagi dalam tiga tahap, yaitu Tahap Basis, Tahap Gunung Hutan, dan Tahap Rawa Laut. Dari Tahap Gunung Hutan ke Tahap Rawa Laut dijembatani dengan long march alias patroli jarak jauh. Long march dilakukan untuk menguji daya tahan personel. Nah, untuk porsi karbol, materi-materi ini sengaja dipadatkan agar waktu pelaksanaan tercapai dan tepat waktu.
Menariknya, latihan komando yang diikuti Angkatan 69 ini pesertanya tidak hanya para karbol, tapi juga Gubernur AAU Komodor Udara Rusman dan Komandan Resimen Taruna Karbol AAU Letkol Pnb.Jahman. Meski pejabat teras dilingkungan AAU, kedua pilot MIG-21 Fishbed ini mengikuti semua materi yang diberikan kepada para karbol, sama sekali tanpa pengecualian dan keistimewaan. Tidur di tenda, jalan kaki, antri makan,mandi lumpur, semua dilakoni kedua pejabat ini bersama para karbol. Sungguh contoh teladan yang sangat baik bagi para pejabat TNI di era sekarang.
Menurut Marsda Purn.Rusman, apa yang dilakukannya saat itu adalah bagian dari upayanya untuk mengetahui secara langsung dilapangan metode latihan dan pendidikan yang diterapkan kepada para karbol. Rusman yang waktu itu berusia 36 tahun mengatakan, pendidikan harus dilaksanakan secara terarah dan tidak boleh serampangan. Dilain pihak, sebagai Gubernur AAU yang baru dilantik, Rusaman secara pribadi juga berkeinginan untuk memiliki kemampuan seperti yang dimiliki para Karbol. "Masa tarunanya komando gubernurnya ngga?!" ujarnya sambil ketawa. Demi memuluskan pelaksanaan nantinya, Rusman secara sengaja berlatih di area sekitar Lanud. Mulai dari merayap, lari dan menyeberangi sungai kecil.
Longmarch ke Pamengpeuk Garut adalah fase terakhir yang sangat melelahkan. Selain sesekali dihadapkan kepada hambatan seperti simulasi serangan mendadak, ambush, perjalanan ini sungguh menuntut daya tahan fisik dan mental yang sangat tinggi. Tidak sedikit peserta dalam fase ini angkat tangan alias menyerah. Disinilah, dalam keletihan teramat sangat dan kaki sudah gontai seperti tidak mampu lagi menopang tubuh pemiliknya, Nanok bergumam dalam hatinya,
"Sampai kapanpun, saya tidak mau masuk jadi pasukan!"
RIBUT DENGAN AKMIL
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1968, ketika kedua kelompok taruna yang mukimnya bertetangga ini bertemu dalam ajang sepakbola pertandingan olahraga Porakta (Pekan Olahraga Tiga Angkatan) di Magelang.
Entah siapa yang memulai, terjadilah keributan massal yang berujung saling gebuk dan adu jotos. Pertandingan yang semula berjalan sportif dan fair play tiba-tiba berubah menjadi ajang perkelahian massal. Kursi, meja, batu, kayu melayang menyasar taruna yang malang. Tidak hanya saling gebuk, sebagai buntut kekesalan sebagaimana lazimnya sebuah kerusuhan massal, sejumlah bus angkutan taruna dari kedua belah pihak turut menjadi bulan-bulanan. Karena perkelahian ini, dari rencana semula karbol akan menginap di Mess Akmil Magelang, diputuskan batal dan kembali ke Jogja.
Rupanya rekonsiliasi yang dilakukan oleh para petinggi kedua Akademi yang berseteru belum mampu memupus rasa dendam dihati kedua kelompok. Maklum saja anak muda, sumbu pendek dan gampang tersulut emosinya. Perkelahian kembali terjadi saat berlangsungnya pertandingan bulutangkis. Sersan Taruna Karbol Abdul Mukti, rekan seangkatan Nanok yang ketika itu menjadi atlet bulutangkis menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Saat itu, kenang Mukti, ia baru akan melakukan servis dan sudah dalam posisi server, lantas mendengar suara gaduh. Gedebak gedebuk suara orang berlari, Mukti menoleh ke samping ingin tahu suara yang mengganggu konsentrasinya. Rupanya suara gedebak gedebuk itu suara langkah seorang taruna Akmil yang meluru kearahnya hendak memukulnya. Reflek Mukti mengelak dan menendang taruna itu hingga jatuh tersungkur. Keadaan pun langsung chaos, perkelahian massal tercetus kembali.
Darah muda Mukti mendidih. Diapun bermaksud menghajar taruna tadi dengan raketnya yang sudah dipatahkan jadi dua, namun urung dilaksanakan.
"Untung tidak saya lakukan" kenang Mukti.
"Jadi pada tahun-tahun itu kondisinya selalu tegang tiap ketemu Akmil. Kalau berkelahi sama-sama hancur, sama-sama bonyok keluar kecap" kenang Nanok.
Alasan seperti itulah diantaranya yang memicu pimpinan ABRI ketika itu melakukan pengintegrasian akademi keempat angkatan dibawah satu payung yaitu Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia disingkat AKABRI. Akabri 1970 merupakan angkatan pertama program integrasi ini.
DILECEHKAN MAHASISWA UGM
Tahun keempat dengan pangkat "Raja" Sersan Mayor Taruna Karbol adalah masa-masa seperti di awang-awang. Tradisi sebegini sudah menjadi kelaziman dalam pendidikan dunia kemiliteran dimana senior selalu mendapat privilege. Hanya saja kondisi "nyaman" ini sering dimanfaatkan senior untuk berlaku seenaknya terhadap yuniornya dll. Namun bukan itu yang akan diceritakan disini, tapi pertikaian antara mahasiswa UGM Yogyakarta karena jiwa korsa taruna yang berlebihan.
Peristiwa ini bermula ketika salah seorang Karbol senior, Sermatar Karbol Agus Armanto dan Sermatar Karbol Tukiran Toyib akan membayar ongkos becak bersama dua gadis kenalannya. Kedua taruna karbol ini bersama rekanita mereka dari pesiar mengunjungi pameran bunga di Gedung Seni Sono yang terletak di kawasan Malioboro - Ahmad Yani.
Karena merasa sebagai pihak yang mengajak, kedua rekan wanita mereka keberatan dibayari ongkos becaknya oleh Agus dan Tukiran. Saat keduanya saling menolak untuk dibayari, tiba-tiba dua pemuda lewat dibelakang mereka iseng nyelutuk,
"Ah pura-pura itu..karbol kan biasanya emang ndak punya duit"
Sempat kaget mendengar celutukan kedua pemuda tadi, namun karena sedang membayar becak, Agus tidak meladeni ocehan mereka. Namun begitu hatinya mulai panas.
Sambil melihat-lihat kembang yang dipamerkan, Agus menegur Tukiran,menanyakan apakah tadi mendengar ucapan iseng kedua pemuda tadi. Ternyata Tukiran juga mendengar, mereka lalu sepakat mencari kedua pemuda tadi. Setelah ketemu, dua pemuda tadi malah menyangkal, merasa tidak mengucapkan apa-apa. Bahkan salah seorang dari mereka kenang Marsma Purn. Agus Armanto, terkesan kemaki (sombong) dan belagu. "Dia menyangkal terus omongannya, malahan ngelantur kemana-mana!" Kenang Agus yang masih terlihat geram jika mengingat tingkah laku salah satu pemuda tadi.
Karena merasa tidak ketemu jalan keluarnya, Agus dan Tukiran pun memutuskan mengakhiri pembicaraan dengan kedua pemuda tadi kemudian mengantarkan kembali rekan wanitanya ke rumahnya. Sebelum pergi Agus sempat menanyakan alamat kedua pemuda tadi.
Setibanya di basis AAU, Agus melaporkan kejadian tadi kepada Kapoltar (Kepala Polisi Taruna) yang sedang piket. Mendapat laporan seperti itu darah muda mereka mendidih. Mereka sepakat, pokoknya harus diklarifikasi apa maksud mereka berkata seperti itu. Rapat kilat pun dilaksanakan dengan diikuti beberapa orang karbol senior seperti Hanafie Asnan, Rusdi Basri, Bachruddin, dan Nanok sendiri. Mereka merembukkan tindakan yang bakal diambil dan bagaimana caranya.
Komandan Korps Taruna Karbol, Sermatar Karbol Rusdi Basri yang memang paling tua diantara mereka (kelahiran 30 Agustus 1941), awalnya keberatan dengan rencana aksi balasan dari teman-temannya. Namun rupanya darah muda sudah menguasai mereka.
"Saya sendiri waktu itu termasuk staf komando, sebagai Danyon Korps Taruna Karbol" ujar Nanok.
Berdua dengan temannya, malam itu juga Nanok mendatangi sopir bus karbol Siswanto meminta mengantarkan mereka ke suatu lokasi di Jogja
Sebenarnya 'permintaan ' itu sudah jelas merupakan suatu yang salah, karena dilakukan diluar jalur komando. Namun begitulah jadinya jika sikap bonek sudah merasuki. Apalagi saat itu situasinya memang mendukung. Kala itu aturan yang berlaku di AAU belum seketat sekarang. Pos Piket belum sebanyak sekarang dan lingkungan AAU juga belum se streril sekarang, sehingga siapapun bisa keluar masuk tanpa diketahui.
Demikianlah, malam itu sebuah fiat yang dikendarai Siswanto melaju keluar komplek AAU untuk mengantarkan beberapa karbol senior yang sudah "siap tempur". Malam itu berangkat Sermatar Agus Armanto, Sermatar Adam Nasution, Sermatar Mulyadi, Sermatar Hanafie Asnan, Sermatar Bachruddin, Sermatar Prastowo, Sermatar Afendi, dan Nanok sendiri.
Tidak sulit mencari kedua pemuda iseng tadi, setibanya dilokasi para karbol yang tetap memakai pakaian PDH itu segera turun dari bus dan "mengambil" pemuda yang ditunjuk oleh Agus. Menurut Agus Armanto dan Marsda Purn Bachruddin, kedua pemuda yang dicari sepertinya sudah siap untuk "dikunjungi' sehingga tidak berusaha kabur saat didatangi para karbol. Berdua mereka digiring kearah pemancar televisi di wilayah Yogyakarta
Ditempat itu kedua pemuda tadi di interogasi dan dijejali beberapa pertanyaan. Namun tetap saja kedua pemuda tadi tidak mengakui apa yang diucapkannya siang tadi. Sikap geram karbol pun memuncak, sehingga bogem mentah pun melayang. Salah seorang karbol sampai menantang kedua pemuda tadi untuk duel satu lawan satu secara jantan, namun ditepis oleh kedua pemuda tadi, tentu saja tetap tidak seimbang. Karbol dengan fisik mental dan terlatih bukanlah tandingan bagi kedua pemuda tadi.
Karena tetap tidak ada titik temu, kedua pemuda tadi pun dikembalikan.
Seperti tidak terjadi sesuatu, besoknya aktivitas berlangsung seperti biasa di AAU. Beberapa karbol senior yang melakukan pengmbilan terhadap kedua mahasiswa semalam atas nama esprit de corps juga terlihat beraktivitas seperti biasa. Ketenangan ternyata tidak berlangsung lama. Dua hari kemudian, sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di kampusnya. Mereka menggelar spanduk mengecam aksi main hakim oleh karbol. Tindakan itu ternyata menimbulkan dampak luar biasa. Apalagi kedua pemuda tersebut rupanya mahasiswa salah satu universitas terkemuka di Togyakarta. Kota Gudeg pun dibuat geger akibat persitiwa itu. Tidak hanya dilingkungan AAU dan kampus UGM, pemerintah daerah Yogyakarta pun dibuat repot.
Berita ini dengan cepat sampai ketelinga Gubernur AAU, Komodor Rusman, yang dibuat kaget sekaligus marah. Semua karbol yang terlibat dalam aksi main hakim sendiri dipanggil. Pak Rusman sangat kesal dan marah karena menganggap apa yang dilakukan para karbol senior itu bukanlah sikap seorang prajurit apalagi seorang calon perwira. Sebelum suasana berkembang menjadi lebih buruk, Pak Rusman segera menelpon Rektor UGM Suroso untuk menyampaikan permintaan maaf atas tindakan yang dilakukan para karbol dan menyarankan mencarikan jalan keluar bersama.
Agar kejadian ini tidak berkepanjangan dan menimbulkan keributan besar, Pak Rusman memutuskan untuk mengamankan para karbol yang terlibat. Kebetulan saat itu ada program kuliah kerja karbol AAU Angkatan 69 ke Jakarta dan Bandung. "Pokoknya kami diamankan, jauh dari Yogya" kata Nanok. Sebagian dikirim ke Jakarta dan sebagian lagi ke Bandung.
Karbol dibagi menjadi dua kelompok, yang ke bandung ditempatkan di SECAPA TNI-AD sedangkan yang di Jakarta di SEKKAU Halim. Setelah 1 minggu, mereka saling bertukar tempat. Dikedua kota ini, karbol yang terlibat peristiwa di Yogya ditempatkan diruang tahanan khusus dan tidak diperkenankan pesiar. Namun, tinggal di sel khusus tidak lantas membuat mereka kesepian, karena rupanya mereka mempunyai banyak penggemar, termasuk ibu-ibu yang datang membawakan mereka makanan. Ketika di tahanan ini bersama karbol lainnya, Hanafie Asnan sempat ngapusi kepada seorang bintara penjaga tahanan,
" Sersan, tau ndak ini siapa ?(sambil nunjuk rekannya Adam Nasution). Ini Adam Nasution, putranya Pak Nas!" Sersan penjaga tahanan termakan bualan Hanafie, sejak saat itu pintu sel tidak pernah lagi digembok.
Menurut Nanok, insiden dengan pemuda Yogyakarta adalah kejadian kedua selama pendidikan mereka. Sebelumnya ketika masih berpangkat Sersan Taruna Karbol alias Tingkat II, sempat juga meletus insiden. Kejadiannya berlangsung saat senior mereka main drumband di Hotel Ambarukmo. Drumnya disobek oleh seorang pemuda sehingga menimbulkan adu jotos. Menurut Alm. Marsda Purn, F Djoko Poerwoko, diera-era itu Karbol AAU memang terkenal jago gelut, berkelahi dan ditakuti.
"Saya juga tidak tahu kenapa, tapi karbol itu cukup disegani karena pemberani,"
SELAMAT TINGGAL KARBOL
Seperti kata pepatah, ada saatnya datang ada pula saatnya untuk pergi. Layaknya siklus kehidupan, begitu pula pendidikan di AAU. Perpisahan selalu berat untuk dilalui, namun mereka harus menghadapinya demi menyongsong masa depan yang penuh tantangan. Karena program integritas ABRI belum maksimal, Praspa tahun 1969 hanya diikuti oleh perwira remaja dari AAU dan AAL. Praspa 1969 dilaksanakan di Mako AAU dengan Inspektur Upacara Presiden Soeharto dan komanda upacara Kolonel Pnb.Supardi. Tanggal yang ditentukan adalah 6 Desember 1969. Presiden Soeharto berdiri penuh kharisma dipodium memberikan kata sambutan dan kemudian melantik perwakilan dari kedua angkatan. Untuk menunjukkan kekompakan ABRI, perwakilan dari Akmil dan Akpol dari Angkatan 70 dihadirkan meski mereka tidak diwisuda. Lulusan Terbaik AAU Angkatan 69 adalah Letnan Dua Tek. Nyoman Dana berhak menyandang Trphy Adhi Makayasa.
Setelah berdinas selama 30an tahun di TNI-AU, dari 244 perwira remaja yang diwisuda tahun 1969 dengan totalan masukan 270 pemuda yang diterima pada peringkat Saniri 1966, tentunya tidak semua bisa meraih jenjang perwira tinggi. Meminjam guyonan diwarung kopi : Disekolah boleh pintar, namun garis tangan yang menentukan.
Rinciannya adalah :
Marsekal ( 1 orang )
Marsekal Madya ( 2 orang )
Marsekal Muda ( 10 orang )
Marsekal Pertama ( 22 orang )
Kolonel ( 115 orang )
Letnan Kolonel ( 71 orang )
Mayor ( 11 orang )
Kapten ( 3 orang )
Letnan Satu ( 4 orang )
Letnan Dua ( 5 orang )
Karena karbol tidak dilatih secara spesifik untuk menjadi prajurit komando, maka program yang mereka jalani pun tidak selama dan seberat pendidikan komando di satuan khusus. Pendidikan hanya sebulan, dengan materi yang dipadatkan.
Pendidikan komando biasanya dilaksanakan dalam beberapa tahap. Secara garis besar dibagi dalam tiga tahap, yaitu Tahap Basis, Tahap Gunung Hutan, dan Tahap Rawa Laut. Dari Tahap Gunung Hutan ke Tahap Rawa Laut dijembatani dengan long march alias patroli jarak jauh. Long march dilakukan untuk menguji daya tahan personel. Nah, untuk porsi karbol, materi-materi ini sengaja dipadatkan agar waktu pelaksanaan tercapai dan tepat waktu.
Menariknya, latihan komando yang diikuti Angkatan 69 ini pesertanya tidak hanya para karbol, tapi juga Gubernur AAU Komodor Udara Rusman dan Komandan Resimen Taruna Karbol AAU Letkol Pnb.Jahman. Meski pejabat teras dilingkungan AAU, kedua pilot MIG-21 Fishbed ini mengikuti semua materi yang diberikan kepada para karbol, sama sekali tanpa pengecualian dan keistimewaan. Tidur di tenda, jalan kaki, antri makan,mandi lumpur, semua dilakoni kedua pejabat ini bersama para karbol. Sungguh contoh teladan yang sangat baik bagi para pejabat TNI di era sekarang.
Menurut Marsda Purn.Rusman, apa yang dilakukannya saat itu adalah bagian dari upayanya untuk mengetahui secara langsung dilapangan metode latihan dan pendidikan yang diterapkan kepada para karbol. Rusman yang waktu itu berusia 36 tahun mengatakan, pendidikan harus dilaksanakan secara terarah dan tidak boleh serampangan. Dilain pihak, sebagai Gubernur AAU yang baru dilantik, Rusaman secara pribadi juga berkeinginan untuk memiliki kemampuan seperti yang dimiliki para Karbol. "Masa tarunanya komando gubernurnya ngga?!" ujarnya sambil ketawa. Demi memuluskan pelaksanaan nantinya, Rusman secara sengaja berlatih di area sekitar Lanud. Mulai dari merayap, lari dan menyeberangi sungai kecil.
Longmarch ke Pamengpeuk Garut adalah fase terakhir yang sangat melelahkan. Selain sesekali dihadapkan kepada hambatan seperti simulasi serangan mendadak, ambush, perjalanan ini sungguh menuntut daya tahan fisik dan mental yang sangat tinggi. Tidak sedikit peserta dalam fase ini angkat tangan alias menyerah. Disinilah, dalam keletihan teramat sangat dan kaki sudah gontai seperti tidak mampu lagi menopang tubuh pemiliknya, Nanok bergumam dalam hatinya,
"Sampai kapanpun, saya tidak mau masuk jadi pasukan!"
RIBUT DENGAN AKMIL
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1968, ketika kedua kelompok taruna yang mukimnya bertetangga ini bertemu dalam ajang sepakbola pertandingan olahraga Porakta (Pekan Olahraga Tiga Angkatan) di Magelang.
Entah siapa yang memulai, terjadilah keributan massal yang berujung saling gebuk dan adu jotos. Pertandingan yang semula berjalan sportif dan fair play tiba-tiba berubah menjadi ajang perkelahian massal. Kursi, meja, batu, kayu melayang menyasar taruna yang malang. Tidak hanya saling gebuk, sebagai buntut kekesalan sebagaimana lazimnya sebuah kerusuhan massal, sejumlah bus angkutan taruna dari kedua belah pihak turut menjadi bulan-bulanan. Karena perkelahian ini, dari rencana semula karbol akan menginap di Mess Akmil Magelang, diputuskan batal dan kembali ke Jogja.
Rupanya rekonsiliasi yang dilakukan oleh para petinggi kedua Akademi yang berseteru belum mampu memupus rasa dendam dihati kedua kelompok. Maklum saja anak muda, sumbu pendek dan gampang tersulut emosinya. Perkelahian kembali terjadi saat berlangsungnya pertandingan bulutangkis. Sersan Taruna Karbol Abdul Mukti, rekan seangkatan Nanok yang ketika itu menjadi atlet bulutangkis menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Saat itu, kenang Mukti, ia baru akan melakukan servis dan sudah dalam posisi server, lantas mendengar suara gaduh. Gedebak gedebuk suara orang berlari, Mukti menoleh ke samping ingin tahu suara yang mengganggu konsentrasinya. Rupanya suara gedebak gedebuk itu suara langkah seorang taruna Akmil yang meluru kearahnya hendak memukulnya. Reflek Mukti mengelak dan menendang taruna itu hingga jatuh tersungkur. Keadaan pun langsung chaos, perkelahian massal tercetus kembali.
Darah muda Mukti mendidih. Diapun bermaksud menghajar taruna tadi dengan raketnya yang sudah dipatahkan jadi dua, namun urung dilaksanakan.
"Untung tidak saya lakukan" kenang Mukti.
"Jadi pada tahun-tahun itu kondisinya selalu tegang tiap ketemu Akmil. Kalau berkelahi sama-sama hancur, sama-sama bonyok keluar kecap" kenang Nanok.
Alasan seperti itulah diantaranya yang memicu pimpinan ABRI ketika itu melakukan pengintegrasian akademi keempat angkatan dibawah satu payung yaitu Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia disingkat AKABRI. Akabri 1970 merupakan angkatan pertama program integrasi ini.
DILECEHKAN MAHASISWA UGM
Tahun keempat dengan pangkat "Raja" Sersan Mayor Taruna Karbol adalah masa-masa seperti di awang-awang. Tradisi sebegini sudah menjadi kelaziman dalam pendidikan dunia kemiliteran dimana senior selalu mendapat privilege. Hanya saja kondisi "nyaman" ini sering dimanfaatkan senior untuk berlaku seenaknya terhadap yuniornya dll. Namun bukan itu yang akan diceritakan disini, tapi pertikaian antara mahasiswa UGM Yogyakarta karena jiwa korsa taruna yang berlebihan.
Peristiwa ini bermula ketika salah seorang Karbol senior, Sermatar Karbol Agus Armanto dan Sermatar Karbol Tukiran Toyib akan membayar ongkos becak bersama dua gadis kenalannya. Kedua taruna karbol ini bersama rekanita mereka dari pesiar mengunjungi pameran bunga di Gedung Seni Sono yang terletak di kawasan Malioboro - Ahmad Yani.
Karena merasa sebagai pihak yang mengajak, kedua rekan wanita mereka keberatan dibayari ongkos becaknya oleh Agus dan Tukiran. Saat keduanya saling menolak untuk dibayari, tiba-tiba dua pemuda lewat dibelakang mereka iseng nyelutuk,
"Ah pura-pura itu..karbol kan biasanya emang ndak punya duit"
Sempat kaget mendengar celutukan kedua pemuda tadi, namun karena sedang membayar becak, Agus tidak meladeni ocehan mereka. Namun begitu hatinya mulai panas.
Sambil melihat-lihat kembang yang dipamerkan, Agus menegur Tukiran,menanyakan apakah tadi mendengar ucapan iseng kedua pemuda tadi. Ternyata Tukiran juga mendengar, mereka lalu sepakat mencari kedua pemuda tadi. Setelah ketemu, dua pemuda tadi malah menyangkal, merasa tidak mengucapkan apa-apa. Bahkan salah seorang dari mereka kenang Marsma Purn. Agus Armanto, terkesan kemaki (sombong) dan belagu. "Dia menyangkal terus omongannya, malahan ngelantur kemana-mana!" Kenang Agus yang masih terlihat geram jika mengingat tingkah laku salah satu pemuda tadi.
Karena merasa tidak ketemu jalan keluarnya, Agus dan Tukiran pun memutuskan mengakhiri pembicaraan dengan kedua pemuda tadi kemudian mengantarkan kembali rekan wanitanya ke rumahnya. Sebelum pergi Agus sempat menanyakan alamat kedua pemuda tadi.
Setibanya di basis AAU, Agus melaporkan kejadian tadi kepada Kapoltar (Kepala Polisi Taruna) yang sedang piket. Mendapat laporan seperti itu darah muda mereka mendidih. Mereka sepakat, pokoknya harus diklarifikasi apa maksud mereka berkata seperti itu. Rapat kilat pun dilaksanakan dengan diikuti beberapa orang karbol senior seperti Hanafie Asnan, Rusdi Basri, Bachruddin, dan Nanok sendiri. Mereka merembukkan tindakan yang bakal diambil dan bagaimana caranya.
Komandan Korps Taruna Karbol, Sermatar Karbol Rusdi Basri yang memang paling tua diantara mereka (kelahiran 30 Agustus 1941), awalnya keberatan dengan rencana aksi balasan dari teman-temannya. Namun rupanya darah muda sudah menguasai mereka.
"Saya sendiri waktu itu termasuk staf komando, sebagai Danyon Korps Taruna Karbol" ujar Nanok.
Berdua dengan temannya, malam itu juga Nanok mendatangi sopir bus karbol Siswanto meminta mengantarkan mereka ke suatu lokasi di Jogja
Sebenarnya 'permintaan ' itu sudah jelas merupakan suatu yang salah, karena dilakukan diluar jalur komando. Namun begitulah jadinya jika sikap bonek sudah merasuki. Apalagi saat itu situasinya memang mendukung. Kala itu aturan yang berlaku di AAU belum seketat sekarang. Pos Piket belum sebanyak sekarang dan lingkungan AAU juga belum se streril sekarang, sehingga siapapun bisa keluar masuk tanpa diketahui.
Demikianlah, malam itu sebuah fiat yang dikendarai Siswanto melaju keluar komplek AAU untuk mengantarkan beberapa karbol senior yang sudah "siap tempur". Malam itu berangkat Sermatar Agus Armanto, Sermatar Adam Nasution, Sermatar Mulyadi, Sermatar Hanafie Asnan, Sermatar Bachruddin, Sermatar Prastowo, Sermatar Afendi, dan Nanok sendiri.
Tidak sulit mencari kedua pemuda iseng tadi, setibanya dilokasi para karbol yang tetap memakai pakaian PDH itu segera turun dari bus dan "mengambil" pemuda yang ditunjuk oleh Agus. Menurut Agus Armanto dan Marsda Purn Bachruddin, kedua pemuda yang dicari sepertinya sudah siap untuk "dikunjungi' sehingga tidak berusaha kabur saat didatangi para karbol. Berdua mereka digiring kearah pemancar televisi di wilayah Yogyakarta
Ditempat itu kedua pemuda tadi di interogasi dan dijejali beberapa pertanyaan. Namun tetap saja kedua pemuda tadi tidak mengakui apa yang diucapkannya siang tadi. Sikap geram karbol pun memuncak, sehingga bogem mentah pun melayang. Salah seorang karbol sampai menantang kedua pemuda tadi untuk duel satu lawan satu secara jantan, namun ditepis oleh kedua pemuda tadi, tentu saja tetap tidak seimbang. Karbol dengan fisik mental dan terlatih bukanlah tandingan bagi kedua pemuda tadi.
Karena tetap tidak ada titik temu, kedua pemuda tadi pun dikembalikan.
Seperti tidak terjadi sesuatu, besoknya aktivitas berlangsung seperti biasa di AAU. Beberapa karbol senior yang melakukan pengmbilan terhadap kedua mahasiswa semalam atas nama esprit de corps juga terlihat beraktivitas seperti biasa. Ketenangan ternyata tidak berlangsung lama. Dua hari kemudian, sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di kampusnya. Mereka menggelar spanduk mengecam aksi main hakim oleh karbol. Tindakan itu ternyata menimbulkan dampak luar biasa. Apalagi kedua pemuda tersebut rupanya mahasiswa salah satu universitas terkemuka di Togyakarta. Kota Gudeg pun dibuat geger akibat persitiwa itu. Tidak hanya dilingkungan AAU dan kampus UGM, pemerintah daerah Yogyakarta pun dibuat repot.
Berita ini dengan cepat sampai ketelinga Gubernur AAU, Komodor Rusman, yang dibuat kaget sekaligus marah. Semua karbol yang terlibat dalam aksi main hakim sendiri dipanggil. Pak Rusman sangat kesal dan marah karena menganggap apa yang dilakukan para karbol senior itu bukanlah sikap seorang prajurit apalagi seorang calon perwira. Sebelum suasana berkembang menjadi lebih buruk, Pak Rusman segera menelpon Rektor UGM Suroso untuk menyampaikan permintaan maaf atas tindakan yang dilakukan para karbol dan menyarankan mencarikan jalan keluar bersama.
Agar kejadian ini tidak berkepanjangan dan menimbulkan keributan besar, Pak Rusman memutuskan untuk mengamankan para karbol yang terlibat. Kebetulan saat itu ada program kuliah kerja karbol AAU Angkatan 69 ke Jakarta dan Bandung. "Pokoknya kami diamankan, jauh dari Yogya" kata Nanok. Sebagian dikirim ke Jakarta dan sebagian lagi ke Bandung.
Karbol dibagi menjadi dua kelompok, yang ke bandung ditempatkan di SECAPA TNI-AD sedangkan yang di Jakarta di SEKKAU Halim. Setelah 1 minggu, mereka saling bertukar tempat. Dikedua kota ini, karbol yang terlibat peristiwa di Yogya ditempatkan diruang tahanan khusus dan tidak diperkenankan pesiar. Namun, tinggal di sel khusus tidak lantas membuat mereka kesepian, karena rupanya mereka mempunyai banyak penggemar, termasuk ibu-ibu yang datang membawakan mereka makanan. Ketika di tahanan ini bersama karbol lainnya, Hanafie Asnan sempat ngapusi kepada seorang bintara penjaga tahanan,
" Sersan, tau ndak ini siapa ?(sambil nunjuk rekannya Adam Nasution). Ini Adam Nasution, putranya Pak Nas!" Sersan penjaga tahanan termakan bualan Hanafie, sejak saat itu pintu sel tidak pernah lagi digembok.
Menurut Nanok, insiden dengan pemuda Yogyakarta adalah kejadian kedua selama pendidikan mereka. Sebelumnya ketika masih berpangkat Sersan Taruna Karbol alias Tingkat II, sempat juga meletus insiden. Kejadiannya berlangsung saat senior mereka main drumband di Hotel Ambarukmo. Drumnya disobek oleh seorang pemuda sehingga menimbulkan adu jotos. Menurut Alm. Marsda Purn, F Djoko Poerwoko, diera-era itu Karbol AAU memang terkenal jago gelut, berkelahi dan ditakuti.
"Saya juga tidak tahu kenapa, tapi karbol itu cukup disegani karena pemberani,"
SELAMAT TINGGAL KARBOL
Seperti kata pepatah, ada saatnya datang ada pula saatnya untuk pergi. Layaknya siklus kehidupan, begitu pula pendidikan di AAU. Perpisahan selalu berat untuk dilalui, namun mereka harus menghadapinya demi menyongsong masa depan yang penuh tantangan. Karena program integritas ABRI belum maksimal, Praspa tahun 1969 hanya diikuti oleh perwira remaja dari AAU dan AAL. Praspa 1969 dilaksanakan di Mako AAU dengan Inspektur Upacara Presiden Soeharto dan komanda upacara Kolonel Pnb.Supardi. Tanggal yang ditentukan adalah 6 Desember 1969. Presiden Soeharto berdiri penuh kharisma dipodium memberikan kata sambutan dan kemudian melantik perwakilan dari kedua angkatan. Untuk menunjukkan kekompakan ABRI, perwakilan dari Akmil dan Akpol dari Angkatan 70 dihadirkan meski mereka tidak diwisuda. Lulusan Terbaik AAU Angkatan 69 adalah Letnan Dua Tek. Nyoman Dana berhak menyandang Trphy Adhi Makayasa.
Setelah berdinas selama 30an tahun di TNI-AU, dari 244 perwira remaja yang diwisuda tahun 1969 dengan totalan masukan 270 pemuda yang diterima pada peringkat Saniri 1966, tentunya tidak semua bisa meraih jenjang perwira tinggi. Meminjam guyonan diwarung kopi : Disekolah boleh pintar, namun garis tangan yang menentukan.
Rinciannya adalah :
Marsekal ( 1 orang )
Marsekal Madya ( 2 orang )
Marsekal Muda ( 10 orang )
Marsekal Pertama ( 22 orang )
Kolonel ( 115 orang )
Letnan Kolonel ( 71 orang )
Mayor ( 11 orang )
Kapten ( 3 orang )
Letnan Satu ( 4 orang )
Letnan Dua ( 5 orang )
Demikianlah Kisah Sejati Pasukan Paskhas TNI AU - Nanoek Soeratno (Bagian 4) Mudah - mudah bermanfaat buat sahabat sekalian.
Jika Anda menyukai Artikel di Website ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Inspirasi Tanpa Henti
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Yang Bijak dan Bermanfaat