SOPIR TRUK, CUEK AJA
Setelah 6 bulan dijauhkan dari dunia nyata dan keluarga, tak terkirakan kegembiraan para Karbol setelah mengetahui bahwa mereka diberi cuti seminggu. Meski mungkin waktu yang diberikan tidak mencukupi bagi yang tinggal diluar pulau Jawa mengingat masih terbatasnya moda transportasi saat itu, setidaknya waktu seminggu yang diberikan bisa membuat mereka sejenak rileks mengendorkan ketegangan. Enam bulan bukanlah waktu yang sebentar, dikala pukulan dan tendangan menjadi santapan sehari-hari. Nanok pun segera pulang ke Ngawi.
Sudah menjadi keputusan di lingkungan AAU, bahwa selama menempuh masa pendidikan diakademi kepada setiap taruna diwajibkan menggunakan PDH, sekalipun dalam masa cuti. Disaat mengenakan pakaian ini, setiap Karbol diharuskan tetap menjaga kehormatannya sebagai Taruna AAU. Namun apa jadinya jika seorang Karbol dimasa cutinya nekat mengemudikan truk? Itulah Nanok Suratno. Entah cuek, nekat, atau tidak mengerti, Nanok dengan santainya mengemudikan truk tebu orang tuanya dari Madiun ke Ngawi dengan masih mengenakan PDH karbolnya.
Tanpa terasa masa cutipun berakhir dan semua Karbol kembali ke basis di AAU. Esok harinya mereka dikumpulkan oleh para seniornya dilapangan upacara.
"Siapa yang kemarin cuti pergi premanan?!"
"Siapa yang nyupir truk?!"
Semua diam, tidak ada yang berani angkat tangan apalagi menjawab, termasuk Nanok si sopir truk.
"Bak..buk..bak..buk..!!"
Suara buku tangan menghantam perut bersahut-sahutan seperti ucapan selamat datang kembali di AAU bagi mereka. Hari ini semua dapat "jatah", namun Nanok beruntung tidak dipanggil secara pribadi, meski ia yakin seniornya yang melihatnya pasti kenal wajahnya.
"Mungkin karena sekampung di Ngawi" kenang Nanok.
MENJADI PENATARAMA
Pada tahun pertama pendidikan di AAU, Kopral Karbol mulai dikenalkan dengan program tambahan semacam ekstrakurikuler. Sifatnya sebagai sebuah wahana bagi para karbol untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Setiap karbol diberi kebebasan untuk memilih program yang sudah disiapkan oleh AAU. Seperti Kolone Senapan, olahraga (Badminton, volley, bulutangkis, sepakbola, beladiri), dan drumband. Uniknya bagi Karbol yang tidak memilih salah satu dari kegiatan tadi dikelompokkan ke dalam satu tim disebut "Tanam Pisang". Terkesan lucu, namun begitulah adanya. Program ini intinya tertuju kepada kegiatan bertanam memanfaatkan lahan-lahan kosong disekitar basis. Mungkin untuk gampangnya, disebut saja mereka Tim Tanam Pisang, karena salah satu yang ditanam ya memang pohon pisang.
Soal program ekstrakurikuler ini, ada cerita unik seperti yang dituturkan Marsekal Purn.Hanafie Asnan. Seperti awal dijelaskan karena besarnya jumlah Angkatan 68, membuat Angkatan 69 seperti menghadapi tembok besar yang kokokh. Dampak dari tembok tinggi ini sampai berefek pada pilihan ekstrakurikuler yang harus diambil. Hanafie yang sebenarnya hobi tinju, demi alasan cari aman, akhirnya memilih drumband saja. Karena jika memilih tinju, jelasa Hanafie, bisa-bisa dirinya jadi bulan-bulanan seniornya.
"Saya me-reduce kemampuan diri saya, karena kalau ketahuan senior wah repot saya. Saya harus low profile. Kalau saya bilang tinju, bisa habis sama senior. Ketika ditanya senior, saya bilang olahraga saya bulutangkis. Tapi kata senior, badan segede gitu kok bulutangkis? Drumband aja kamu! Mungkin itu juga alasan yang dipakai Kopral Karbol lainnya.
Di drumband karbol, mungkin karena dinilai terampil oleh seniornya dalam memainkan beberapa alat musik dan terlihat mempunyai leadership, Nanok dipromosikan menjadi Penata Rama atau Stick Master. Promosi ini diperoleh Nanok ketika sudah Tingkat III dan berpangkat Sersan Mayor Taruna Karbol.
Menurut Nanok, atraksi yang diperagakan Karbol pada masa itu tidak sehebat sekarang. Apalagi jika melibatkan alat musik, dilakukan sangat terbatas dan hati-hati. Maklumlah, jumlah alat musik yang dimiliki AAU saat itu sangat terbatas disamping harga yang relatif mahal.
Seperti menumpuk bass drum hingga membentuk seperti tangga, lalu dinaiki leader sambil akrobat, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan saat itu. Istilahnya, kata Nanok, gores sedikit saja bisa digebukin senior, bagaimana mungkin ditumpuk-tumpuk? Bahkan soal stick, Nanok mengakui tidak berani melemparnya terlalu tinggi. Saat itu hanya ada dua stick, yang salah satunya sudah jelek. Jadi kalau latihan harus hati-hati agar tidak rusak apalagi sampai patah.
"Kalau penyok ya sudah..pasang badan aja digebukin."
BOGOWONTO KEMBALI BERDUKA
Awal Agustus 1968, kereta api Yogyakarta-Bandung mengangkut rombongan Sersan Karbol yang akan mengikuti Latihan Para Dasar di Lanud Sulaiman, Bandung. Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya menggunakan pakaian pesiar yang serba mengkilat, melainkan cukup PDL lengkap dengan ransel gendong dan veldples tempat minum. Wajah-wajah mereka kelihatan riang dan gembira, bahwa sebentar lagi mereka akan memakai brevet Para dan Komando.
Sembilan jam perjalanan tidak terasa, tahu-tahu sudah sampai di Bandung. Di stasiun KA sudah bersiap para pelatih terjun menjemput Karbol. Dengan sigapnya mereka memberi perintah agar seluruh barang bawaan dimasukan keatas truk karena calon siswa terjun akan jalan kaki menuju Lanud Sulaiman yang berjarak 15km dari St.Bandung.
Dalam waktu persiapan diberikan 15 menit, hampir semua karbol mengisi veldples dengan air putih. Namun sebelum pluit start ditiup seorang pelatih menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan minum selama perjalanan, sehingga veldples harus dikosongkan. Yah...guman para Taruna Karbol tanpa bisa menolak. Menjelang tengah malam mereka baru tiba di Barak Cimariuk dan kemudian bergabung dengan siswa terjun lainnya yang berasal dari Calon Pelatih sebanyak 20 orang Bintara.
"Yang Ragu-Ragu Lebih Baik Pulang" itulah motto yang terpampang di depang Hanggar Sekolah Para Dasar Lanud Sulaiman, Bandung Selatan. Kelihatannya simpel dan sederhana, namun setelah direnungkan ternyata punya makna yang sangat dalam.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, tanggal 28 Agustus 1968 itu siswa terjun Angkatan 71, pagi itu tampak sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke Lanud Hussein Sastranegara. Meski terlihat santai, tetap saja raut wajah tidak bisa dibohongi. Keteganga terlihat dari tatapan mereka. Direncanakan malam itu mereka akan melaksanakan terjun statik malam hari.
Sehabis sarapan pagi, sebagian siswa bercanda dengan seorang Bibi penjual makanan dan krupuk di Barak Cimariuk. Kata si Bibi, "Menjual makanan kepada siswa terjun mah tidak pernah membuatnya rugi. Makanan cukup ditaruh diatas meja, yang berminat akan mengambil dan langsung menaruh uangnya sendiri sesuai dengan harga makanan yang diambil. Kalau ada kembalian ya kudu ambil sendiri. Bibi ndak pernah rugi atau dicurangin.."
Berbeda dengan siswa Pendidikan Komando, "kadang belum bayar sudah nanyain kembaliannya" ujar si Bibi tertawa.
Hari itu kelihatan berjalan lebih cepat karena didorong oleh rasa harap-harap cemas menyonsong terjun malam. Nanok bersama 30 Karbol lainnya berada di truk paling depan karena kebagian terjun sortie pertama.
Cuaca sedikit berawan diselingi angin dingin kemarau, membuat para karbol tidak kegerahan. Memasuki Lanud Hussein jantung mereka semakin berdebar kencang. Apalagi setelah melihat pesawat bermesin dua Ilyusin Il-14 Avia T-417 buatan Chekoslovakia yang siap membawa para karbol.
Pukul 19.00 sortie pertama sudah disiapkan didalam Wisma Sompil Basuki yang tempatnya lebih terang. Biasanya kalau siang hari, persiapan dilakukan didepan unit pemadam kebakaran. Sortie pertama terdiri dari 30 peterjun yang terbagi dalam dua run dengan setiap run 15 orang. Nanok yang semula menjadi orang ke-15 dalam run pertama, oleh pelatih dipindah menjadi orang pertama run kedua. Setelah persiapan dianggap cukup, penerjun diminta berdoa dan kemudian masuk ke dalam perut pesawat Avia T-417 yang diterbangkan oleh Lettu Pnb.Chris. Pesawat kemudian tinggal landas menuju dropping zone.
Didalam pesawat semua siswa menyanyi dengan suara yang tidak jelas nadanya, yang penting keras. Terlihat sekali bahwa mereka dilanda stress tinggi. Sampai-sampai maksudnya menyanyikan lagu Halo Halo Bandung malah ujungnya jadi Maju Tak Gentar
Beep..beeeepp! Lampu merah menyala.
"Penerjun siapp!" Teriak jumpmaster.
"Pasaang pengait!"
Para karbol langsung memasang pengait parasut statik pada kawat baja yang terbentang dari depan ke belakang.
"Periksa kelengkapan!" Jumpmaster kembali berteriak. Pemeriksaan terakhir dilakukan.
"Groooooggggg..!"
Pesawat mendadak berguncang hebat persis diatas runway Margahayu, semua membisu. Rupanya cuaca diluar tidak bersahabat yang membuat pesawat berguncang keras, disisi lain menambah ketegangan bagi para karbol. Yang sebelumnya sudah tegang sekarang makin tegang lagi.
Beeeeeeppp.!!
Lampu hijau menyala!
Pesawat bergerak dari arah barat dan peterjun pertama bergerak cepat dan meloncat dari bibir pesawat dilanjutkan dibelakang dan seterunya. Pastilah mereka menyaksikan kelap kelip lampu-lampu rumah disekitar Margahayu dan terpaan angin dingin. Kemudian pesawat berputar untuk menerjunkan run kedua.
"Satu ribu..dua ribu..tiga ribu..empat ribu.."
"Hupp..alhamdulilah.." Payung membuka dengan sempurna dan tinggal memikirkan pendaratan.
"Kaki rapat..kepala simpannn!"
"Suara sound system dari bawah mengingatkan para penerjun merapatkan kaki dan menekukkan kepala, siap mendarat jelas sekali terdengar" kenang Nanok.
"Saya penerjun pertama run kedua, mendarat dengan baik ditengah-tengah runway. Didalam hati saya bertanya, kemana penerjun no.15? Saya rasakan saat itu angin dingin bertiup kencang menandakan akan datangnya hujan".
Tidak berpikir lebih lama lagi, Nanok segera membereskan payung dan perlengkapannya dibantu anak-anak kolong yang cukup diberi duit cepek-an. Beres melipat payung, Nanok bergegas keposisi DZ Master untuk melapor. Dia menjadi orang pertama run kedua yang melapor karena secara kebetulan tepat mendarat di tengah.
Karena belum banyak penerjun run pertama yang melaporkan diri saat Nanok melapor, ia melihat para pelatih mulai gelisah termasuk kepala sekolah terjun Mayor Psk.Mulyono. Dengan pengalamannya sekian tahun, tentulah para pelatih saat itu sudah tau bahwa penerjunan malam itu sesungguhnya sudah overshoot.
Akibatnya, sejumlah peterjun jatuh ke dalam sungai dan di kampung dekat pangkalan. Suasana semakin mencekam ketika hujan lebat mendadak turun, mengguyur Margahayu seperti ditumpahkan dari langit saja derasnya. Tidak mau ambil resiko, run selanjutnya dibatalkan dan semua dikonsentrasikan melakukan pencarian peterjun yang belum melapor. Ada dua peterjun karbol yang tidak kunjung muncul melapor.
Dari hasil pencarian besar-besaran malam itu, dinyatakan bahwa dua peterjun atas nama Sersan Taruna Karbol Suwarno dan Sersan Taruna Karbol Cornelius Andreas jatuh kedalam sungai Citarum dan tenggelam.
Operasi SAR yang dilanjutkan keesokan harinya menemukan jenazah Suwarno pada pukul 7 pagi 31 Agustus 1968 dan jenazah Cornelius Andreas keesokan harinya dijam yang sama. Mereka berdua gugur masuk ke dalam sungai Citarum yang deras, tidak sempat menyelamatkan diri akibat lilitan payung terjun dan perlengkapan lainnya yang berat. Kedua jenazah kemudian dikebumikan di kampung halamannya masing-masing. Penerjunan kembali dilaksanakan pada tanggal 3 September dan selesai keesokan harinya. Gugurnya kedua karbol ini membuat Bogowonto kembali berduka karena harus kembali kehilangan rekan seperjuangan. Bersambung...
Setelah 6 bulan dijauhkan dari dunia nyata dan keluarga, tak terkirakan kegembiraan para Karbol setelah mengetahui bahwa mereka diberi cuti seminggu. Meski mungkin waktu yang diberikan tidak mencukupi bagi yang tinggal diluar pulau Jawa mengingat masih terbatasnya moda transportasi saat itu, setidaknya waktu seminggu yang diberikan bisa membuat mereka sejenak rileks mengendorkan ketegangan. Enam bulan bukanlah waktu yang sebentar, dikala pukulan dan tendangan menjadi santapan sehari-hari. Nanok pun segera pulang ke Ngawi.
Sudah menjadi keputusan di lingkungan AAU, bahwa selama menempuh masa pendidikan diakademi kepada setiap taruna diwajibkan menggunakan PDH, sekalipun dalam masa cuti. Disaat mengenakan pakaian ini, setiap Karbol diharuskan tetap menjaga kehormatannya sebagai Taruna AAU. Namun apa jadinya jika seorang Karbol dimasa cutinya nekat mengemudikan truk? Itulah Nanok Suratno. Entah cuek, nekat, atau tidak mengerti, Nanok dengan santainya mengemudikan truk tebu orang tuanya dari Madiun ke Ngawi dengan masih mengenakan PDH karbolnya.
Tanpa terasa masa cutipun berakhir dan semua Karbol kembali ke basis di AAU. Esok harinya mereka dikumpulkan oleh para seniornya dilapangan upacara.
"Siapa yang kemarin cuti pergi premanan?!"
"Siapa yang nyupir truk?!"
Semua diam, tidak ada yang berani angkat tangan apalagi menjawab, termasuk Nanok si sopir truk.
"Bak..buk..bak..buk..!!"
Suara buku tangan menghantam perut bersahut-sahutan seperti ucapan selamat datang kembali di AAU bagi mereka. Hari ini semua dapat "jatah", namun Nanok beruntung tidak dipanggil secara pribadi, meski ia yakin seniornya yang melihatnya pasti kenal wajahnya.
"Mungkin karena sekampung di Ngawi" kenang Nanok.
MENJADI PENATARAMA
Pada tahun pertama pendidikan di AAU, Kopral Karbol mulai dikenalkan dengan program tambahan semacam ekstrakurikuler. Sifatnya sebagai sebuah wahana bagi para karbol untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Setiap karbol diberi kebebasan untuk memilih program yang sudah disiapkan oleh AAU. Seperti Kolone Senapan, olahraga (Badminton, volley, bulutangkis, sepakbola, beladiri), dan drumband. Uniknya bagi Karbol yang tidak memilih salah satu dari kegiatan tadi dikelompokkan ke dalam satu tim disebut "Tanam Pisang". Terkesan lucu, namun begitulah adanya. Program ini intinya tertuju kepada kegiatan bertanam memanfaatkan lahan-lahan kosong disekitar basis. Mungkin untuk gampangnya, disebut saja mereka Tim Tanam Pisang, karena salah satu yang ditanam ya memang pohon pisang.
Soal program ekstrakurikuler ini, ada cerita unik seperti yang dituturkan Marsekal Purn.Hanafie Asnan. Seperti awal dijelaskan karena besarnya jumlah Angkatan 68, membuat Angkatan 69 seperti menghadapi tembok besar yang kokokh. Dampak dari tembok tinggi ini sampai berefek pada pilihan ekstrakurikuler yang harus diambil. Hanafie yang sebenarnya hobi tinju, demi alasan cari aman, akhirnya memilih drumband saja. Karena jika memilih tinju, jelasa Hanafie, bisa-bisa dirinya jadi bulan-bulanan seniornya.
"Saya me-reduce kemampuan diri saya, karena kalau ketahuan senior wah repot saya. Saya harus low profile. Kalau saya bilang tinju, bisa habis sama senior. Ketika ditanya senior, saya bilang olahraga saya bulutangkis. Tapi kata senior, badan segede gitu kok bulutangkis? Drumband aja kamu! Mungkin itu juga alasan yang dipakai Kopral Karbol lainnya.
Di drumband karbol, mungkin karena dinilai terampil oleh seniornya dalam memainkan beberapa alat musik dan terlihat mempunyai leadership, Nanok dipromosikan menjadi Penata Rama atau Stick Master. Promosi ini diperoleh Nanok ketika sudah Tingkat III dan berpangkat Sersan Mayor Taruna Karbol.
Menurut Nanok, atraksi yang diperagakan Karbol pada masa itu tidak sehebat sekarang. Apalagi jika melibatkan alat musik, dilakukan sangat terbatas dan hati-hati. Maklumlah, jumlah alat musik yang dimiliki AAU saat itu sangat terbatas disamping harga yang relatif mahal.
Seperti menumpuk bass drum hingga membentuk seperti tangga, lalu dinaiki leader sambil akrobat, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan saat itu. Istilahnya, kata Nanok, gores sedikit saja bisa digebukin senior, bagaimana mungkin ditumpuk-tumpuk? Bahkan soal stick, Nanok mengakui tidak berani melemparnya terlalu tinggi. Saat itu hanya ada dua stick, yang salah satunya sudah jelek. Jadi kalau latihan harus hati-hati agar tidak rusak apalagi sampai patah.
"Kalau penyok ya sudah..pasang badan aja digebukin."
BOGOWONTO KEMBALI BERDUKA
Awal Agustus 1968, kereta api Yogyakarta-Bandung mengangkut rombongan Sersan Karbol yang akan mengikuti Latihan Para Dasar di Lanud Sulaiman, Bandung. Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya menggunakan pakaian pesiar yang serba mengkilat, melainkan cukup PDL lengkap dengan ransel gendong dan veldples tempat minum. Wajah-wajah mereka kelihatan riang dan gembira, bahwa sebentar lagi mereka akan memakai brevet Para dan Komando.
Sembilan jam perjalanan tidak terasa, tahu-tahu sudah sampai di Bandung. Di stasiun KA sudah bersiap para pelatih terjun menjemput Karbol. Dengan sigapnya mereka memberi perintah agar seluruh barang bawaan dimasukan keatas truk karena calon siswa terjun akan jalan kaki menuju Lanud Sulaiman yang berjarak 15km dari St.Bandung.
Dalam waktu persiapan diberikan 15 menit, hampir semua karbol mengisi veldples dengan air putih. Namun sebelum pluit start ditiup seorang pelatih menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan minum selama perjalanan, sehingga veldples harus dikosongkan. Yah...guman para Taruna Karbol tanpa bisa menolak. Menjelang tengah malam mereka baru tiba di Barak Cimariuk dan kemudian bergabung dengan siswa terjun lainnya yang berasal dari Calon Pelatih sebanyak 20 orang Bintara.
"Yang Ragu-Ragu Lebih Baik Pulang" itulah motto yang terpampang di depang Hanggar Sekolah Para Dasar Lanud Sulaiman, Bandung Selatan. Kelihatannya simpel dan sederhana, namun setelah direnungkan ternyata punya makna yang sangat dalam.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, tanggal 28 Agustus 1968 itu siswa terjun Angkatan 71, pagi itu tampak sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke Lanud Hussein Sastranegara. Meski terlihat santai, tetap saja raut wajah tidak bisa dibohongi. Keteganga terlihat dari tatapan mereka. Direncanakan malam itu mereka akan melaksanakan terjun statik malam hari.
Sehabis sarapan pagi, sebagian siswa bercanda dengan seorang Bibi penjual makanan dan krupuk di Barak Cimariuk. Kata si Bibi, "Menjual makanan kepada siswa terjun mah tidak pernah membuatnya rugi. Makanan cukup ditaruh diatas meja, yang berminat akan mengambil dan langsung menaruh uangnya sendiri sesuai dengan harga makanan yang diambil. Kalau ada kembalian ya kudu ambil sendiri. Bibi ndak pernah rugi atau dicurangin.."
Berbeda dengan siswa Pendidikan Komando, "kadang belum bayar sudah nanyain kembaliannya" ujar si Bibi tertawa.
Hari itu kelihatan berjalan lebih cepat karena didorong oleh rasa harap-harap cemas menyonsong terjun malam. Nanok bersama 30 Karbol lainnya berada di truk paling depan karena kebagian terjun sortie pertama.
Cuaca sedikit berawan diselingi angin dingin kemarau, membuat para karbol tidak kegerahan. Memasuki Lanud Hussein jantung mereka semakin berdebar kencang. Apalagi setelah melihat pesawat bermesin dua Ilyusin Il-14 Avia T-417 buatan Chekoslovakia yang siap membawa para karbol.
Pukul 19.00 sortie pertama sudah disiapkan didalam Wisma Sompil Basuki yang tempatnya lebih terang. Biasanya kalau siang hari, persiapan dilakukan didepan unit pemadam kebakaran. Sortie pertama terdiri dari 30 peterjun yang terbagi dalam dua run dengan setiap run 15 orang. Nanok yang semula menjadi orang ke-15 dalam run pertama, oleh pelatih dipindah menjadi orang pertama run kedua. Setelah persiapan dianggap cukup, penerjun diminta berdoa dan kemudian masuk ke dalam perut pesawat Avia T-417 yang diterbangkan oleh Lettu Pnb.Chris. Pesawat kemudian tinggal landas menuju dropping zone.
Didalam pesawat semua siswa menyanyi dengan suara yang tidak jelas nadanya, yang penting keras. Terlihat sekali bahwa mereka dilanda stress tinggi. Sampai-sampai maksudnya menyanyikan lagu Halo Halo Bandung malah ujungnya jadi Maju Tak Gentar
Beep..beeeepp! Lampu merah menyala.
"Penerjun siapp!" Teriak jumpmaster.
"Pasaang pengait!"
Para karbol langsung memasang pengait parasut statik pada kawat baja yang terbentang dari depan ke belakang.
"Periksa kelengkapan!" Jumpmaster kembali berteriak. Pemeriksaan terakhir dilakukan.
"Groooooggggg..!"
Pesawat mendadak berguncang hebat persis diatas runway Margahayu, semua membisu. Rupanya cuaca diluar tidak bersahabat yang membuat pesawat berguncang keras, disisi lain menambah ketegangan bagi para karbol. Yang sebelumnya sudah tegang sekarang makin tegang lagi.
Beeeeeeppp.!!
Lampu hijau menyala!
Pesawat bergerak dari arah barat dan peterjun pertama bergerak cepat dan meloncat dari bibir pesawat dilanjutkan dibelakang dan seterunya. Pastilah mereka menyaksikan kelap kelip lampu-lampu rumah disekitar Margahayu dan terpaan angin dingin. Kemudian pesawat berputar untuk menerjunkan run kedua.
"Satu ribu..dua ribu..tiga ribu..empat ribu.."
"Hupp..alhamdulilah.." Payung membuka dengan sempurna dan tinggal memikirkan pendaratan.
"Kaki rapat..kepala simpannn!"
"Suara sound system dari bawah mengingatkan para penerjun merapatkan kaki dan menekukkan kepala, siap mendarat jelas sekali terdengar" kenang Nanok.
"Saya penerjun pertama run kedua, mendarat dengan baik ditengah-tengah runway. Didalam hati saya bertanya, kemana penerjun no.15? Saya rasakan saat itu angin dingin bertiup kencang menandakan akan datangnya hujan".
Tidak berpikir lebih lama lagi, Nanok segera membereskan payung dan perlengkapannya dibantu anak-anak kolong yang cukup diberi duit cepek-an. Beres melipat payung, Nanok bergegas keposisi DZ Master untuk melapor. Dia menjadi orang pertama run kedua yang melapor karena secara kebetulan tepat mendarat di tengah.
Karena belum banyak penerjun run pertama yang melaporkan diri saat Nanok melapor, ia melihat para pelatih mulai gelisah termasuk kepala sekolah terjun Mayor Psk.Mulyono. Dengan pengalamannya sekian tahun, tentulah para pelatih saat itu sudah tau bahwa penerjunan malam itu sesungguhnya sudah overshoot.
Akibatnya, sejumlah peterjun jatuh ke dalam sungai dan di kampung dekat pangkalan. Suasana semakin mencekam ketika hujan lebat mendadak turun, mengguyur Margahayu seperti ditumpahkan dari langit saja derasnya. Tidak mau ambil resiko, run selanjutnya dibatalkan dan semua dikonsentrasikan melakukan pencarian peterjun yang belum melapor. Ada dua peterjun karbol yang tidak kunjung muncul melapor.
Dari hasil pencarian besar-besaran malam itu, dinyatakan bahwa dua peterjun atas nama Sersan Taruna Karbol Suwarno dan Sersan Taruna Karbol Cornelius Andreas jatuh kedalam sungai Citarum dan tenggelam.
Operasi SAR yang dilanjutkan keesokan harinya menemukan jenazah Suwarno pada pukul 7 pagi 31 Agustus 1968 dan jenazah Cornelius Andreas keesokan harinya dijam yang sama. Mereka berdua gugur masuk ke dalam sungai Citarum yang deras, tidak sempat menyelamatkan diri akibat lilitan payung terjun dan perlengkapan lainnya yang berat. Kedua jenazah kemudian dikebumikan di kampung halamannya masing-masing. Penerjunan kembali dilaksanakan pada tanggal 3 September dan selesai keesokan harinya. Gugurnya kedua karbol ini membuat Bogowonto kembali berduka karena harus kembali kehilangan rekan seperjuangan. Bersambung...
Demikianlah Kisah Sejati Pasukan Paskhas TNI AU - Nanoek Soeratno (Bagian 3) Mudah - mudah bermanfaat buat sahabat sekalian.
Jika Anda menyukai Artikel di Website ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Inspirasi Tanpa Henti
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Yang Bijak dan Bermanfaat