Nasib Pasukan Gurkha
Pada saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Mallaby dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka ngurus tawanan perang Jepang.
Namun ternyata kesepakatan ini dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi gesekan-gesekan di lapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Inggris.
Pasukan Inggris, terutama Gurkha dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.
Pada saat mendarat pertama kali di Surabaya, ada kesepakatan antara Mallaby dengan para pemimpin arek-arek Suroboyo bahwa pasukan Inggris hanya diijinkan paling jauh 800 meter dari pelabuhan dalam upaya mereka ngurus tawanan perang Jepang.
Namun ternyata kesepakatan ini dilanggar oleh Mallaby. Mungkin Mallaby menganggap remeh pemerintahan Indonesia di Surabaya. Maka tidak dapat dihindari lagi, terjadi gesekan-gesekan di lapangan antara para pejuang Indonesia dengan pasukan Inggris.
Pasukan Inggris, terutama Gurkha dan Pasukan India yang non-muslim (karena ada juga pasukan India Muslim yang kelak menjadi Pakistan dan sering membantu arek-arek Suroboyo dengan memberi senjata dan amunisi), seringkali bertindak kurang ajar dan kejam terhadap arek-arek Suroboyo. Sering sekali mereka melakukan sweeping dan kemudian merampas senjata-senjata yang dibawa oleh arek-arek Suroboyo saat bertemu dijalan. Bahkan jika ada arek Suroboyo yang menolak menyerahkan senjatanya, pasukan Inggris main tembak saja.
![]() |
Ilustrasi |
Akibatnya, kemarahan para pejuang kian tinggi sehingga diputuskan untuk menyerang pos-pos pasukan Inggris, terutama yang berada di area di luar jarak 800 meter sesuai kesepakatan (sungguh fair play arek-arek Suroboyo itu, meski dibuat marah, mereka masih menghormati kesepakatan yang dibuat oleh para pemimpinnya). Arek-arek Suroboyo yang marah menyerang seluruh pos pasukan Inggris, termasuk Gurkha.
Arek-arek Suroboyo nampaknya punya perhitungan tersendiri terhadap pasukan Gurkha ini. Mereka inilah yang paling kurang ajar dan paling kejam diantara pasukan Inggris. Sebagian arek-arek Surabaya tahu reputasi dan pengalaman tempur Gurkha, tapi so what gitu lho? Tidak ada rasa takut atau segan sedikitpun untuk bertempur melawan pasukan Gurkha. Clurit orang Madura tidak kalah mematikan dengan pisau kukri Gurkha.
Sejarah kemudian mencatat, pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan trengginas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek Suroboyo,mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara, membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan menembak).
Apa boleh buat, itulah peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka saat melawan Jepang, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo, yang mereka ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam memalukan yang mereka torehkan.
Sejarah kemudian mencatat, pos-pos pasukan Inggris itu dibuat morat-marit. Pertahanan mereka jebol dimana-mana akibat gelombang serangan arek-arek Suroboyo yang bertempur dengan trengginas. Pasukan Inggris yang masih selamat lari terbirit-birit kembali ke induk pasukan untuk menyelamatkan diri. Bahkan dengan meninggalkan jenasah teman-teman mereka. Naas bagi jenasah pasukan Gurkha yang tidak sempat dievakuasi. Sebagian arek-arek Suroboyo,mungkin karena situasi yang panas dan dendam yang membara, membuang sebagian jenasah pasukan Gurkha itu ke Kali Mas. Belum cukup disitu, sebagian arek-arek Suroboyo itu kemudian menjadikan jenasah yang terapung di kali itu sebagai titis-titisan (sasaran untuk latihan menembak).
Apa boleh buat, itulah peperangan yang akan selalu ada sisi-sisi kekejaman. Pasukan Gurkha telah menuai buah pahit dari bibit kekejaman dan permusuhan yang mereka tebar di Surabaya. Gurkha boleh saja membanggakan reputasi tempur mereka saat melawan Jepang, tapi saat melawan arek-arek Suroboyo, yang mereka ejek dengan sebutan “mob” atau milisi kelas Tiga, hanya tinta kelam memalukan yang mereka torehkan.
Trial and Error Mencoba Senjata
Senjata-senjata (api) yang dimiliki oleh elemen-elemen bersenjata di Surabaya saat itu sebagian besar adalah hasil rampasan senjata Jepang. Senjata-senjata itu, termasuk mortir, meriam, dan panser,merupakan modal besar dalam mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya di Surabaya dan Jawa Timur namun juga di daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah yang mendapat kiriman senjata rampasan dari Surabaya.
Namanya juga senjata hasil rampasan yang dirampas dalam suasana kacau balau, kualitas dan jenisnya macam-macam. Persoalan lain, seringkali banyak ketidaksesuaian antara suatu jenis bedil atau senjata dengan amunisi yang tersedia. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika terdengar teriakan seperti ini:”Pelurune kok kegeden? Gak iso mlebu nang bedilku !?” (Peluruku kok kebesaran? Tidak bisa masuk ke dalam bedilku nih !” yang terkadang disahuti oleh yang lain:”Walah, peluruku malah kecilik’an, lodhok iki”. (walah, malah peluruku kekecilan, jadi longgar ini.). Kalau seperti itu, diantara mereka kemudian saling mencoba untuk mengetahui peluru apa cocoknya ke senjata mana.
Itu baru soal kesesuaian antara jenis peluru dengan bedilnya. Belum lagi soal mempergunakan senjata. Ini persoalan lain lagi. Selain TKR dan Polisi Istimewa, praktis elemen-elemen bersenjata arek-arek Suroboyo adalah milisi yang belum mahir dalam mempergunakan senjata. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, sulit juga untuk mengadakan semacam short course cara penggunakan senjata yang baik dan benar. Terpaksalah para pejuang itu belajar sendiri, dengan cara trial and error, cara mempergunakan senjata seperti bagaimana cara membidik yang tepat agar sasaran bisa dikenai.
Hal ini terus berlangsung bahkan saat pertempuran besar sudah terjadi. Akibatnya seringkali hal ini menimbulkan insiden yang mengenaskan seperti saat teman seperjuangan dihujani mortir hanya karena keliru menghitung sudut elevasi tembakan. Namun terkadang juga muncul hal-hal lucu seperti panser yang disetir dengan gaya orang mabok atau seperti yang diceritakan oleh salah satu pejuang disela-sela istirahat.
“Aku mau nembak tentara Inggris, pas kenek ndase. Langsung matek tentara iku”(Aku tadi menembak tentara Inggris, tepat kena kepalanya. Langsung mati tentara itu) kata pejuang muda itu dengan bangga. Teman-teman yang lain menimpali dengan rasa kagum.“Hebat awakmu saiki, wis iso nembak titis. Angel lho nembak pas kene ndase iku” (Hebat dirimu sekarang, sudah bisa menembak dengan jitu. Susah lho menembak dengan tepat di bagian kepala.).
Tapi apa jawaban pejuang pertama tadi.”Sak sajane sih, aku mau ngeker dodone supoyo luwih gampang ditembak, tapi kok kenek ndase? Yo wis, kebetulan !”(Sebenarnya sih, aku tadi mengincar dadanya agar lebih mudah ditembak, tapi kok kena kepalanya? Ya sudah, kebetulan !”) Maka meledaklah tawa diantara sesama pejuang.
Begitulah arek-arek Suroboyo, meski suasana perang, selalu ada waktu riang dengan berkelakar diantara mereka.
Pengasuh Pondok Pesantren Jadi Komandan TempurMasyarakat Surabaya khususnya, dan Jawa Timur sebagian besar adalah muslim yang berorientasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Semasa perang heroik 10 Nopember 1945, peranan warga dan kyai-kyai NU sungguh luar biasa, bertarung bahu-membahu dengan komponen-komponen bangsa Indonesia lain yang ada di Surabaya.
Pada saat situasi di Surabaya kian genting dan ibu pertiwi telah memanggil putra putrinya untuk mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan bangsa, para kyai NU merasa terpanggil untuk turut memberikan sumbangsihnya.
Serangkain pertemuan digelar oleh para kyai sepuh (sebutan khas dikalangan NU yang merujuk pada kyai-kyai berpengaruh dan sangat disegani) yang berujung pada satu tekad: lawan Inggris atau siapapun yang berniat menjajah kembali Indonesia ! Sebagai perwujudan tekad para kyai dan warga NU, maka pada tanggal 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama PB NU mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk melawan pasukan penjajah.
Resolusi Jihad ini seperti menyiramkan minyak ke api perlawanan rakyat yang sudah menyala. Dampaknya luar biasa. Pesantren-pesantren dan forum-forum pengajian berubah lebih banyak mengajarkan penggunaan senjata dan bela diri. Para pengasuh pondok pesantren juga mengajar ilmu kesakten kepada para pejuang lainnya yang datang ke pondok-pondok pesantren. Ribuan kyai, ustadz, dan santri dari pelbagai penjuru Jawa Timur dan Madura meninggalkan pesantren-pesantren mereka dan mulai bergerak menuju Surabaya untuk turut menjadi pagar bangsa menghadapi musuh yang kian nyata hendak menjarah hak dasar bangsa Indonesia:
Senjata-senjata (api) yang dimiliki oleh elemen-elemen bersenjata di Surabaya saat itu sebagian besar adalah hasil rampasan senjata Jepang. Senjata-senjata itu, termasuk mortir, meriam, dan panser,merupakan modal besar dalam mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya di Surabaya dan Jawa Timur namun juga di daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah yang mendapat kiriman senjata rampasan dari Surabaya.
Namanya juga senjata hasil rampasan yang dirampas dalam suasana kacau balau, kualitas dan jenisnya macam-macam. Persoalan lain, seringkali banyak ketidaksesuaian antara suatu jenis bedil atau senjata dengan amunisi yang tersedia. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika terdengar teriakan seperti ini:”Pelurune kok kegeden? Gak iso mlebu nang bedilku !?” (Peluruku kok kebesaran? Tidak bisa masuk ke dalam bedilku nih !” yang terkadang disahuti oleh yang lain:”Walah, peluruku malah kecilik’an, lodhok iki”. (walah, malah peluruku kekecilan, jadi longgar ini.). Kalau seperti itu, diantara mereka kemudian saling mencoba untuk mengetahui peluru apa cocoknya ke senjata mana.
Itu baru soal kesesuaian antara jenis peluru dengan bedilnya. Belum lagi soal mempergunakan senjata. Ini persoalan lain lagi. Selain TKR dan Polisi Istimewa, praktis elemen-elemen bersenjata arek-arek Suroboyo adalah milisi yang belum mahir dalam mempergunakan senjata. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, sulit juga untuk mengadakan semacam short course cara penggunakan senjata yang baik dan benar. Terpaksalah para pejuang itu belajar sendiri, dengan cara trial and error, cara mempergunakan senjata seperti bagaimana cara membidik yang tepat agar sasaran bisa dikenai.
Hal ini terus berlangsung bahkan saat pertempuran besar sudah terjadi. Akibatnya seringkali hal ini menimbulkan insiden yang mengenaskan seperti saat teman seperjuangan dihujani mortir hanya karena keliru menghitung sudut elevasi tembakan. Namun terkadang juga muncul hal-hal lucu seperti panser yang disetir dengan gaya orang mabok atau seperti yang diceritakan oleh salah satu pejuang disela-sela istirahat.
“Aku mau nembak tentara Inggris, pas kenek ndase. Langsung matek tentara iku”(Aku tadi menembak tentara Inggris, tepat kena kepalanya. Langsung mati tentara itu) kata pejuang muda itu dengan bangga. Teman-teman yang lain menimpali dengan rasa kagum.“Hebat awakmu saiki, wis iso nembak titis. Angel lho nembak pas kene ndase iku” (Hebat dirimu sekarang, sudah bisa menembak dengan jitu. Susah lho menembak dengan tepat di bagian kepala.).
Tapi apa jawaban pejuang pertama tadi.”Sak sajane sih, aku mau ngeker dodone supoyo luwih gampang ditembak, tapi kok kenek ndase? Yo wis, kebetulan !”(Sebenarnya sih, aku tadi mengincar dadanya agar lebih mudah ditembak, tapi kok kena kepalanya? Ya sudah, kebetulan !”) Maka meledaklah tawa diantara sesama pejuang.
Begitulah arek-arek Suroboyo, meski suasana perang, selalu ada waktu riang dengan berkelakar diantara mereka.
Pengasuh Pondok Pesantren Jadi Komandan TempurMasyarakat Surabaya khususnya, dan Jawa Timur sebagian besar adalah muslim yang berorientasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Semasa perang heroik 10 Nopember 1945, peranan warga dan kyai-kyai NU sungguh luar biasa, bertarung bahu-membahu dengan komponen-komponen bangsa Indonesia lain yang ada di Surabaya.
Pada saat situasi di Surabaya kian genting dan ibu pertiwi telah memanggil putra putrinya untuk mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan bangsa, para kyai NU merasa terpanggil untuk turut memberikan sumbangsihnya.
Serangkain pertemuan digelar oleh para kyai sepuh (sebutan khas dikalangan NU yang merujuk pada kyai-kyai berpengaruh dan sangat disegani) yang berujung pada satu tekad: lawan Inggris atau siapapun yang berniat menjajah kembali Indonesia ! Sebagai perwujudan tekad para kyai dan warga NU, maka pada tanggal 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama PB NU mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk melawan pasukan penjajah.
Resolusi Jihad ini seperti menyiramkan minyak ke api perlawanan rakyat yang sudah menyala. Dampaknya luar biasa. Pesantren-pesantren dan forum-forum pengajian berubah lebih banyak mengajarkan penggunaan senjata dan bela diri. Para pengasuh pondok pesantren juga mengajar ilmu kesakten kepada para pejuang lainnya yang datang ke pondok-pondok pesantren. Ribuan kyai, ustadz, dan santri dari pelbagai penjuru Jawa Timur dan Madura meninggalkan pesantren-pesantren mereka dan mulai bergerak menuju Surabaya untuk turut menjadi pagar bangsa menghadapi musuh yang kian nyata hendak menjarah hak dasar bangsa Indonesia:
Kemerdekaan. Sementara mereka yang tidak mempunyai kesempatan turut langsung ke Surabaya, berusaha ikut melawan di daerah masing-masing dengan misalnya merampas logistik untuk Inggris, dan kemudian mengoperkannya ke para pejuang, atau mengirimkan bahan-bahan pangan agar para pejuang tidak kelaparan saat bertaruh nyawa melawan pasukan Inggris.
Para santri dan kyai itu bergabung dalam pelbagai elemen perlawanan bersenjata. Ada yang bergabung dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah, atau berbagung dalam pasukan reguler lainnya. Sebagai komandan umum laskar NU/ pesantren adalah KH. Wahab Chasbullah, yang sehari-harinya adalah pengasuh pondok pesantren. Entahlah, apa yang ada dalam pikiran para Jenderal dan komandan pasukan Inggris kalau mereka tahu bahwa laskar dan berikut para komandan di pihak Indonesia sebagian besar adalah benar-benar warga sipil yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman tempur sama sekali.
Meskipun para santri dan kyai-kyai tersebut sangat minim dalam hal pengalaman dan teknik bertempur, keberanian mereka jangan disangsikan. Mereka sungguh ikhlas dan tuntas dalam berjuang. Gelegar suara bom dan mortir, deru deram tank-tank, dan desingan peluru pasukan Inggris dibalas dengan teriakan takbir yang membahana sembari mengacungkan-acungkan senjata agar para pejuang jangan gentar sedikitpun.
Para santri dan kyai itu bergabung dalam pelbagai elemen perlawanan bersenjata. Ada yang bergabung dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah, atau berbagung dalam pasukan reguler lainnya. Sebagai komandan umum laskar NU/ pesantren adalah KH. Wahab Chasbullah, yang sehari-harinya adalah pengasuh pondok pesantren. Entahlah, apa yang ada dalam pikiran para Jenderal dan komandan pasukan Inggris kalau mereka tahu bahwa laskar dan berikut para komandan di pihak Indonesia sebagian besar adalah benar-benar warga sipil yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman tempur sama sekali.
Meskipun para santri dan kyai-kyai tersebut sangat minim dalam hal pengalaman dan teknik bertempur, keberanian mereka jangan disangsikan. Mereka sungguh ikhlas dan tuntas dalam berjuang. Gelegar suara bom dan mortir, deru deram tank-tank, dan desingan peluru pasukan Inggris dibalas dengan teriakan takbir yang membahana sembari mengacungkan-acungkan senjata agar para pejuang jangan gentar sedikitpun.
Cara bertempur seperti ini justru membuat pasukan India Muslim (yang kemudian menjadi Pakistan) dari pihak Inggris menjadi gagap dan gelagapan. Mungkin mereka menghadapi perang batin yang luar biasa karena yang mereka hadapi adalah saudara muslim mereka yang tengah berjuang mempertahankan haknya. Tidak sedikit diantara pasukan India Muslim ini memberikan senjata dan amunisi kepada para pejuang atau bahkan meninggalkan gelanggang pertempuran untuk menghindari bentrokan dengan arek-arek Surabaya. TAMAT.
Referensi :
- Agan Bayuangga
- http://www.kaskus.co.id/show_post/543ba7b81a9975c5768b4567/1733/-
Demikianlah Cerita Menarik di Balik Pertempuran 10 November Surabaya - (Bagian - Habis) Mudah - mudah bermanfaat buat sahabat sekalian.
Jika Anda menyukai Artikel di Website ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Inspirasi Tanpa Henti
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Yang Bijak dan Bermanfaat