Cerita yang akan saya posting melihat dari sisi lain pertempuran 10 Nopember 1945. Sumber cerita berasal dari bapak kos saya yang dalam perang 10 Nopember 1945 adalah salah seorang tokoh pasukan TRIP. Sumber cerita juga berasal dari cerita-cerita yang hidup di kampung-kampung di Surabaya. Pada saat malam 10 Nopember atau 17 Agustus, biasanya cerita-cerita pertempuran 10 Nopember diingatkan dan disegarkan kembali. Saya sering gabung dengan warga kampung untuk mendengarkan cerita mereka karena saya sangat respek dengan kepahlawanan arek-arek Suroboyo.
Pak? Endi Londhone…?!
10 Nopember 1945 pagi. Inggris benar-benar melaksanakan ultimatum mereka. Seluruh kekuatan militer yang ada di Surabaya dan Selat Madura mereka kerahkan untuk membom habis-habisan Surabaya, dari darat, laut dan udara.
Kapal perang Inggris dari Selat Madura terus-menerus memuntahkan bom-bom maut ke arah daerah pertahanan Arek-arek Suroboroyo. Di darat tank-tank Inggris mencoba merangsek garis pertahanan Arek-arek Suroboyo, yang ternyata tidak semudah dibayangkan Jenderal Mansregh karena mendapat perlawanan sengit. Sementara dari udara, pesawat tempur Inggris dengan leluasa menembaki dan membom pertahanan Arek-arek Suroboyo yang relatif terbuka tanpa ”payung” pertahanan udara yang berarti.
Pak? Endi Londhone…?!
10 Nopember 1945 pagi. Inggris benar-benar melaksanakan ultimatum mereka. Seluruh kekuatan militer yang ada di Surabaya dan Selat Madura mereka kerahkan untuk membom habis-habisan Surabaya, dari darat, laut dan udara.
Kapal perang Inggris dari Selat Madura terus-menerus memuntahkan bom-bom maut ke arah daerah pertahanan Arek-arek Suroboroyo. Di darat tank-tank Inggris mencoba merangsek garis pertahanan Arek-arek Suroboyo, yang ternyata tidak semudah dibayangkan Jenderal Mansregh karena mendapat perlawanan sengit. Sementara dari udara, pesawat tempur Inggris dengan leluasa menembaki dan membom pertahanan Arek-arek Suroboyo yang relatif terbuka tanpa ”payung” pertahanan udara yang berarti.
![]() |
Ilustrasi |
Berkat teknologi perang Inggris canggih saat itu, bom-bom Inggris yang dimuntahkan dari kapal perang berjatuhan menghajar hingga jauh ke bagian Selatan Surabaya seperti kawasan Darmo, yang terletak belasan kilometer jauhnya dari Selat Madura. Arek-arek Suroboyo yang berada di daerah tersebut cuma bisa misuh-misuh (memaki-maki) karena terus menerus dihujani bom Inggris tanpa bisa membalas sama sekali karena umumnya mereka hanya memiliki senjata untuk pertempuran jarak dekat seperti bedil rampasan, mortir, clurit, pedang....dll
Seorang Arek Suroboyo umur belasan tahun beringsut mendekat kepada senior mereka. Ditengah riuh rendah suara ledakan bom Inggris, dia bertanya: ”Pak Lek ! Pundhi Londone ?!” (Paman, mana orang Inggrisnya ?.Saat itu lumrah jika menyebut Inggris dengan Londo, karena sama-sama kulit putih, dan sama-sama hendak merampas kemerdekaan)
”Opok’o ?” (kenapa?) balik si pejuang senior bertanya
”Wonge gak kethok, bome wis tekan mrene !” (Orangnya tidak kelihatan, bomnya sudah sampe sini !”). ”Wis gak sabar pingin gelut ambek Londo ! Mboh aku sing mati, opo Londo gendheng sing mati !” (sudah tidak sabar saya ingin berkelahi dengan orang Inggris, entah saya yang mati, atau Inggris gila yang mati !”)
Evolusi Warna Celana TRIP
Pada saat menjelang atau awal pertempuran 10 Nopember, sebagian pasukan TRIP memperoleh celana seragam berwarna khaki (kayak kopi susu muda gitu). Bagi para anggota TRIP yang masih muda-muda, celana itu merupakan kebanggaan, dan sekaligus merupakan celana andalan, karena jarang yang punya ganti. Maklum situasi ekonomi sulit.Kalau pun dicuci (ini sangat jarang dilakukan), terpaksa nunggu kering untuk dapat dipakai lagi…..
Karena gencarnya pertempuran, celana itu jarang di cuci. Bagaimana sempat nyuci celana, lha wong Sekutu tiada henti membomi Surabaya. Belum lagi celana itu sangat sering dipakai untuk tiarap atau merayap di tanah saat bertempur. Maka secara evolusi, warna celana itu pun berubah. Kalau semula berwarna khaki lambat laun warna celana itu menjadi kehitaman. Apalagi banyak diantaranya yang coba-coba melakukan trik “ajaib” dengan secara sengaja membenamkan di lumpur sungai, biar lebih awet katanya. Entahlah, dari mana ide konyol membenamkan celana di lumpur sungai berasal. Tapi tidak sedikit yang mengikutinya. Itulah yang bisa disediakan oleh Republik saat itu bagi para pejuangnya....
Waspada Jika Terdengar Wezzzewezzzzz.!
Sebelum pecah pertempuran 10 Nopember 1945, sebagian besar pejuang dalam perang Surabaya adalah masyarakat sipil biasa, yang sebelumnya mungkin hanyalah tukang jual soto, pedagang di pasar, penarik becak atau dokar, atau pelajar seperti yang tergabung dalam TRIP. Pokoknya semua yang merasa kuat menenteng senjata, maju menantang pasukan Inggris yang baru saja menang Perang Dunia ke-2, termasuk pasukan Gurkha yang katanya hebat dalam bertempur. Satu-satunya unit bersenjata yang terlatih dan memiliki persenjataan yang cukup lengkap hanyalah Polisi Istimewa (PI)
Asal-usul mereka juga macem-macem, hampir segala suku di Indonesia terwakili: Jawa, Madura, Ambon, Batak, Manado, Bali, pokoknya macam-macam suku yang saat itu tinggal di Surabaya. Belum lagi laskar-laskar yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur sendiri yang mengalir masuk ke Surabaya untuk memberikan dukungan. Kesemuanya memiliki satu tekad yang sama: lawan Inggris ! sebagai perwujudan kongkrit apa yang disampaikan secara bergelora oleh Bung Tomo dalam pidatonya.: “...Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!” Hanya ibu-ibu, orang tua dan anak-anak yang diungsikan ke luar Surabaya. Sisanya ya..itu tadi, meleburkan diri dalam pelbagai kelompok perlawanan rakyat.
Keadaanlah yang memaksa mereka untuk segera menyesuaikan diri, belajar bertempur sebisa mereka, dengan senjata apa saja yang mereka miliki (termasuk mungkin pedang dan keris warisan kakek buyut mereka). Semuanya bondo nekad (bonek. Eh,jangan samakan mereka dengan bonek supporter Persebaya ya?) karena tidak sudi tanah tercinta diinjak-injak penjajah, seberapa pun kuat militer mereka. Akibat kemampuan teknis tempur mereka pas-pasan, sering terjadi insiden yang mengenaskan. Misalnya, saat mencoba menembakkan mortir ke arah Undaan Kulon (nama sebuah tempat di Surabaya), dimana posisi musuh berada, tembakan arek-arek Suroboyo malah melenceng ke arah Undaan Wetan dimana sebagian teman perjuangan bertahan !
Namun seiring berjalannya waktu, arek-arek Suroboyo, para pejuang muda yang pemberani itu mulai ngerti cara berperang, termasuk mulai bisa memperkirakan jarak sebuah mortir atau bom yang akan meledak. Jika terdengar suara bersiutan :”Siuuutttt……” arek-arek Suroboyo masih bersikap tenang karena itu berarti mortir atau bom masih jauh dari mereka. Tapi kalau sudah mendengar ”wesz…ewesz….!” rame-rame mereka segera tiarap atau mencari perlindungan karena itu berarti mortir atau bom sudah mendekat ke arah mereka. Boleh juga pembelajaran yang mereka peroleh !
Seorang Arek Suroboyo umur belasan tahun beringsut mendekat kepada senior mereka. Ditengah riuh rendah suara ledakan bom Inggris, dia bertanya: ”Pak Lek ! Pundhi Londone ?!” (Paman, mana orang Inggrisnya ?.Saat itu lumrah jika menyebut Inggris dengan Londo, karena sama-sama kulit putih, dan sama-sama hendak merampas kemerdekaan)
”Opok’o ?” (kenapa?) balik si pejuang senior bertanya
”Wonge gak kethok, bome wis tekan mrene !” (Orangnya tidak kelihatan, bomnya sudah sampe sini !”). ”Wis gak sabar pingin gelut ambek Londo ! Mboh aku sing mati, opo Londo gendheng sing mati !” (sudah tidak sabar saya ingin berkelahi dengan orang Inggris, entah saya yang mati, atau Inggris gila yang mati !”)
Evolusi Warna Celana TRIP
Pada saat menjelang atau awal pertempuran 10 Nopember, sebagian pasukan TRIP memperoleh celana seragam berwarna khaki (kayak kopi susu muda gitu). Bagi para anggota TRIP yang masih muda-muda, celana itu merupakan kebanggaan, dan sekaligus merupakan celana andalan, karena jarang yang punya ganti. Maklum situasi ekonomi sulit.Kalau pun dicuci (ini sangat jarang dilakukan), terpaksa nunggu kering untuk dapat dipakai lagi…..
Karena gencarnya pertempuran, celana itu jarang di cuci. Bagaimana sempat nyuci celana, lha wong Sekutu tiada henti membomi Surabaya. Belum lagi celana itu sangat sering dipakai untuk tiarap atau merayap di tanah saat bertempur. Maka secara evolusi, warna celana itu pun berubah. Kalau semula berwarna khaki lambat laun warna celana itu menjadi kehitaman. Apalagi banyak diantaranya yang coba-coba melakukan trik “ajaib” dengan secara sengaja membenamkan di lumpur sungai, biar lebih awet katanya. Entahlah, dari mana ide konyol membenamkan celana di lumpur sungai berasal. Tapi tidak sedikit yang mengikutinya. Itulah yang bisa disediakan oleh Republik saat itu bagi para pejuangnya....
Waspada Jika Terdengar Wezzzewezzzzz.!
Sebelum pecah pertempuran 10 Nopember 1945, sebagian besar pejuang dalam perang Surabaya adalah masyarakat sipil biasa, yang sebelumnya mungkin hanyalah tukang jual soto, pedagang di pasar, penarik becak atau dokar, atau pelajar seperti yang tergabung dalam TRIP. Pokoknya semua yang merasa kuat menenteng senjata, maju menantang pasukan Inggris yang baru saja menang Perang Dunia ke-2, termasuk pasukan Gurkha yang katanya hebat dalam bertempur. Satu-satunya unit bersenjata yang terlatih dan memiliki persenjataan yang cukup lengkap hanyalah Polisi Istimewa (PI)
Asal-usul mereka juga macem-macem, hampir segala suku di Indonesia terwakili: Jawa, Madura, Ambon, Batak, Manado, Bali, pokoknya macam-macam suku yang saat itu tinggal di Surabaya. Belum lagi laskar-laskar yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur sendiri yang mengalir masuk ke Surabaya untuk memberikan dukungan. Kesemuanya memiliki satu tekad yang sama: lawan Inggris ! sebagai perwujudan kongkrit apa yang disampaikan secara bergelora oleh Bung Tomo dalam pidatonya.: “...Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!” Hanya ibu-ibu, orang tua dan anak-anak yang diungsikan ke luar Surabaya. Sisanya ya..itu tadi, meleburkan diri dalam pelbagai kelompok perlawanan rakyat.
Keadaanlah yang memaksa mereka untuk segera menyesuaikan diri, belajar bertempur sebisa mereka, dengan senjata apa saja yang mereka miliki (termasuk mungkin pedang dan keris warisan kakek buyut mereka). Semuanya bondo nekad (bonek. Eh,jangan samakan mereka dengan bonek supporter Persebaya ya?) karena tidak sudi tanah tercinta diinjak-injak penjajah, seberapa pun kuat militer mereka. Akibat kemampuan teknis tempur mereka pas-pasan, sering terjadi insiden yang mengenaskan. Misalnya, saat mencoba menembakkan mortir ke arah Undaan Kulon (nama sebuah tempat di Surabaya), dimana posisi musuh berada, tembakan arek-arek Suroboyo malah melenceng ke arah Undaan Wetan dimana sebagian teman perjuangan bertahan !
Namun seiring berjalannya waktu, arek-arek Suroboyo, para pejuang muda yang pemberani itu mulai ngerti cara berperang, termasuk mulai bisa memperkirakan jarak sebuah mortir atau bom yang akan meledak. Jika terdengar suara bersiutan :”Siuuutttt……” arek-arek Suroboyo masih bersikap tenang karena itu berarti mortir atau bom masih jauh dari mereka. Tapi kalau sudah mendengar ”wesz…ewesz….!” rame-rame mereka segera tiarap atau mencari perlindungan karena itu berarti mortir atau bom sudah mendekat ke arah mereka. Boleh juga pembelajaran yang mereka peroleh !
Demikianlah Cerita Menarik di Balik Pertempuran 10 November Surabaya - (Bagian 1) Mudah - mudah bermanfaat buat sahabat sekalian.
Jika Anda menyukai Artikel di Website ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan GRATIS via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Inspirasi Tanpa Henti
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Yang Bijak dan Bermanfaat